skin kampung indian: Mundinglaya Dikusumah Cerita Rakyat Dari Tatar Sunda

Mundinglaya Dikusumah Cerita Rakyat Dari Tatar Sunda



CERITA RAKYAT SUNDA 
" MUNDINGLAYA DIKUSUMAH "



Mundinglaya Dikusumah adalah cerita rakyat dari masyarakat Sunda. Cerita rakyat tersebut menceritakan kehidupan seorang pangeran yang kemudian diangkat menjadi raja saat Prabu Siliwangi memerintah kerajaan tersebut Kerajaan Sunda sendiri sering disebut oleh orang Sunda sebagai Pajajaran (nama ibukota kerajaan) setelah Cirebon dan Banten memisahkan diri dari kerajaan tersebut. Cerita rakyat ini berasal dari tradisi lisan orang Sunda yang disebut cerita pantun,yang kemudian ditulis dalam bentuk buku oleh para penulis Sunda baik dalam Bahasa Sunda maupun Bahasa Indonesia.

SEJARAH
Seni pantun merupakan seni yang sudah cukup tua usianya. Disebutkan dalam naskah Siksa Kandang Karesnyan,yang ditulis pada tahun 1518 Masehi, bahwa pantun telah digunakan sejak zaman Langgalarang, Banyakcatra, dan Siliwangi. Ceritanya pun berkisar tentang cerita-cerita Langgalarang,Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi dan lain-lain yang disajikan oleh prepantun (tukang pantun).

Pantun terdapat pula pada naskah kuno yang dituturkan oleh Ki Buyut Rambeng, yakni PantunBogor. Dalam perkembangannya, cerita-cerita pantun yang dianggap bernilai tinggi itu terus bertambah, seperti cerita MUNDING LAYA DIKUSUMAH,Lutung Kasarung,Ciung Wanara,Dengdeng pati Jayaperang, Ratu Bungsu Kamajaya,Sumur Bandung,Demung Kalagan dll. Masyarakat Kanekes yang hidup dalam budaya Sunda Kuna sangat akrab dengan seni Pantun.

Seni ini melekat sebagai bagian dari ritual mereka. Adapun lakon-lakon suci Pantun Kanekes yang disajikan secara ritual seperti Langgasari Kolot, Langgasari Ngora dan Lutung Kasarung.Seni Pantun yang cukup tua usianya melahirkan beberapa tukang pantun pada setiap zamannya.

Di Cianjur misalnya, dikenal nama R.Aria Cikondang (abad ke - 17), Aong Jaya Lahiman dan Jayawireja (abad ke 19.Di Bandung terkenal Uce,juru pantun kabupaten Bandung (awal abad ke-20)dan Pantun Beton  "Wikatmana" (pertengahan abad ke - 20): dan di Bogor terkenal juru pantun Ki Buyut Rombeng.

Alat musik yang dipakai mengiringi seni pantun adalah kacapi.Pada mulanya kacapi tersebut sangat sederhana seperti yang terdapat di Baduy, yaitu kacapi kecil berdawai 7 dari kawat.Selanjutnya, sejalan dengan tumbuhnya seni Cianjuran, kacapi tersebut diganti dengan kacapi gelung (tembang), dan akhirnya menggunakan kacapi siter (Jawa).Adapun tangga nada (laras)yang digunakan dalam iringan kacapi tersebut adalah pelog,namun selanjutnya banyak yang menggunakan laras salendro.


DIJUAL BUKU-BUKU LAWAS ... !!!