150 Perintis kuli Kontrak Jawa
Sejarah perkebunan di Sumatra utara tidak lain adalah kisah penindasan yang termasuk paling dahsyat dijaman kolonial. Era hitam yang ditandai persekongkolan kekuasaan dengan tuan-tuan kebun itu,bisa disebut dirintis oleh tuan Jacobus Nienhuys: seorang Belanda yang sebelumnya sudah menjarah tanah-tanah di Jawa-Timur untuk perkebunan tembakau di bawah bendera kongsi Van den Arend,yang berkantor pusat di Surabaya.
Namun,ihwal kedatangan para insvestor asing itu tidak bisa dilepaskan dari peranan Sultan Deli Mahmud Perkasa Alam yang yang memajakan mereka dengan tanah-tanah konsensi ribuan hektar untuk kebun tembakau. Boleh jadi riwayat sumatra utara pun akan lain, kalau saja Sayid Abdullah Ibnu Umar Bilsagih,seorang habib arab kelahiran Surabaya,tidak terdampar di kawasan Deli,Sayid Abdullah seorang pedagang antarpulau,yang kemudian menjadi adik ipar sultan,berhasil membujuk sultan agar mau menarik investor asing membuka perkebunan tembakau di Deli. Alasan untuk memakmurkan Negeri.
Sultan nampaknya berkenan,maka diutusnyalah Sayid Abdullah ke Jawa untuk melobi para calon investor:ternyata dengan cepat ia berhasil membangkitkan animo para pengusaha Belanda untuk menanam modal di pertembakauan di Deli. Salah satu pengusaha itu adalah Jacobus Nienhuys tadi itu.
Menurut catatan,tanggal 7 Juli 1863 mereka merapat di Kuala Deli dengan kapal josephine. Kedatangan mereka disambut sultan dengan penuh harapan. Kecuali disediakan sejumlah kuda untuk dibeli, mereka di beri sultan tanah konsesi 4000 bahu ( kl 3.000ha)selama 20 tahun,dengan kelonggaran 5 tahun pertama tanpa sewa,selebihnya membayar sewa $.200 setahun. Letaknya sedikit ke hulu Labuhan ditepi sungai Deli,namun ketika konsensi yang dianggap royal itu tidak disetujui oleh Residen Riau Elisa Netsher,pulanglah mereka ke Jawa dengan tangan hampa. Kecuali Nienhuys.
Dalam suasana politik yang keruh Nienhuys yang tetap bercokol di Deli,mencoba menggunakan modalnya yang ada guna membuka kebun percobaan di dekat kediamannya. Mulanya banyak ditemui kegagalan, namun akhirnya babak-babak keberhasilan mulai dirasakannya, terutama setelah bergabung dengan pengusaha lain,dan mendapatkan tanah-tanah konsensi yang amat luas tanpa sewa dari Sultan selama hampir seabad..! Belum lagi,para tuan kebun itu pun diberi kesempatan membeli tanah-tanah petani yang memang hendak dijual (Moch.Said.Koeli Kontrak Tempo Doeloe).
Meluasnya lahan perkebunan,tak pelak membuat tenaga kerja yang mereka butuhkan meningkat. Mula-mula diambil dari penduduk setempat. namun lantaran orang Melayu dan Karo tidak cocok bekerja diperkebunan sebab nilai malas dan suka melawan,tepaksa Nienhuys mengimpor tenaga kerja dari Penang (Malaysia) dan Singapura,yakni orang China yang sudah tinggal disana. Beberapa waktu kemudian juga direkrut orang-orang india (yang dulu digebyah uyah sebagai Keling) dari Koromandel.
Belakangan ketika Pemerintah Tiongkok mempersulit kedatangan buruh-buruh Cina ke Deli.Dan Pemerintah Inggris di India mengajukan persyaratan berat demi kesejahteraan kuli kuli-kuli keling itu,terpikirlah oleh pengusaha perkebunan mengambil kuli dari Jawa. Pertama sekali didatangkan 150 orang kuli kontrak asal Bagelan (Jawa-Tengah) tahun 1880 (Lucman.S.H. 1990).
Dari tahun ke tahun jumlah kuli kontrak asal Jawa semakin membengkak,beriring dengan melejitnya kemajuan-kemajuan perusahaan dan meluasnya lahan perkebunan. Mereka kebanyakan diambil dari desa-desa miskin di Jawa-Tengah dan Jawa-Timur. Tahun 1902,laporan Ir.H.H. Van KOl menyebut ada 14.115 kuli kontrak asal Jawa. Menurut laporan Breman,tahun 1903 di Medan dan sekitarnya buruh perkebunan keturunan Jawa 34.572 orang dari seluruh 97.735 kuli kontrak. Lalu tahun 1985 diperkirakan penduduk keturunan Jawa sekitar 2,5 juta dari seluruh 8,2 juta penduduk Sumatra Utara. Bahkan tahun 1991 ini,menurut Prof.Usman Pelly,M.A. PhD,(Antropog dari IKIP Medan) mereka telah mencapai lebih dari sekitar 10 juta penduduk Propinsi ini.
Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai kelompok etnis jakon (Jawa Kontrak) atau Jadel (jawa Deli),yang sejak tahun 1970'an diubah menjadi Pujakesuma (Putra Jawa kelahiran Sumatra,atau Putra Jawa yang Kesumatra)/ Melihat kenyataan penduduk yang terdominasi orang-orang asal Jawa,jangan-jangan Sumatra Utara secara olok-olok boleh disebut Propinsi Jawut," Jawa Utara ".
Dulu,cara cara mendapatkan kuli yang makin lama tambah banyak jumlahnya itu lewat jaringan- sindiran calo (makelar) atau yang lebih dikenal dengan tukang werek. Para makelar tidak melakukan perwerekan dengan cara penyaringan tapi sebaliknya main tipu seperti dialami kasan Wirono asal Purwokerto itu. Ada yang diajak pergi nonton wayang,lalu didorong masuk kedalam tongkang atau kapal. Ada yang tidak mau,lalu disebut bahwa tujuan tempat kerja hanya ke Johor(kepada orang Cina atau India di Malaysia),toh,tahu-tahu diseberangkan ke Deli.
Lantas untuk mengikat tenaga kerja yang harus didatangkan dengan biaya tidak kecil diciptakan suatu mekanisme pemaksa atas diri mereka,yang disebut dengan kontrak kuli yang mesti mereka tanda-tangani atau cap jempol. Mesti mereka tidak tahu-menahu isi perjanjian kontrak itu. Selanjutnya dengan itu mereka disebut kuli kontrak. Berkat lobi-lobi tuan kebun,pada tahun 1880 Pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan ordonansi kuli yang terkenal dengan sebutan Poenale Sanctie. Ordonansi ini tak pelak menempatkan perusahaan perkebunan menjadi sebuah kerajaan,lengkap dengan aparat keamanannya. Sebaliknya kuli kontrak tidak beda dengan tawanan kerja paksa.
Pentungan dan segala penyiksaan menjadi lumrah dalam sistem perkebunan kolonial. Sementara kebebasan seks bagi tuan-tuan besar dan kecil,yang dilampiaskan pada para wanita pekerja maupun istri kuli,merupakan penyedap tindak kekerasan. Selain itu setiap gajian diadakan keramaian dan judi agar uang para kuli ludes, sehingga mereka tetap melarat dan memperpanjang kontrak. Bahkan ditempat-tempat tertentu dibangun rumah-rumah candu,tempat orang mengisap benda haram itu.
Peristiwa yang mirip perbudakan itu memang sempat bikin geger Parlemen Negeri Belanda. Menurut Moch.Said (1990),Poenale Sanctie memang direvisi 9 tahun kemudian,tapi praktek kekejian terus berlangsung.
" Jenenge Londo,diomonge kejem nggih kejem,mboten nggih mboten "(Namanya Belanda,dibilang kejam ya kejam,dibilang tidak,ya tidak). Saya pernah melihat teman-teman saya yang mencoba lari dari kebun, dikejar-kejar oleh centeng. begitu tertangkap mereka ditendangi dan dipukuli sebelum dilepas dan disuruh kerja lagi. Malah onten sing terus dilebetke teng tutupan (malah ada yang dijebloskan ke semacam penjara),tutur Mbah Ledre (75),bekas kuli karet di Sungai Merah,Tanjung Marowa,yang mengalami riwayat perkebunan tiga zaman : masa kolonial,pendudukan Jepang samapi penyerahan kedaulatan R.I.
TAKUT BILANG SAKIT
Namun,ketika perkebunan diambil alih Jepang,Ledre minta berhenti,namun masuk lagi semasa zaman sudah merdeka. " Saya keweden " (ketakutan-Red)sama polah Nippon. Mereka itu tidak boleh ngliat atau wanita yang agak bersih. " Banyak lho teman-teman saya yang tiap malam mau saja diajak pesta-pesta sama Nippon " tutur Ledre.
Mbah Ledre yang mengaku asal Yogyakarta (tapi Yogyanya di mana, dia tak tahu)-tiba-tiba di Tanah Deli karena memang ikut ibunyayang kena werek tahun 1917. Ketika dibawa naik kapal menuju ke " tanah terjanji " ,Ledre masih jabang bayi umur setahun. " Bayangkan umur itu saya harus jalan jauh naik kapal. Kta simbok, waktu itu kapal saya mabuk-mabuk,kalau tidak ditolong teman-temannya simbok,mungkin saya sudah "dut" (mati),kisah Ledre,yang kala itu satu-satunya orok dalam rombongan kuli kontrak di kapal itu. Sejak usia 10 tahun,ia sudah ikut bantu-bantu simboknya bekerja di perkebunan. Begitu menginjak masa remaja,ia pun teken kontrak.
Ibu 4 anak,nenek sekian cucu dan 10 buyut itu mengaku lolos dari main tendang pukul para mandor seperti beberapa rekannya. Sebab dia punya semacam falsafah pegangan hidup: " Tiyang niku anggere jujur,mlaku teng dalan sing digariske,mesti mesti mboten diseneni tiyang (Asal jujur,berlaku sesuai aturan,pasti tidak dimarahi orang lain)", kata Ledre dengan lugu. Sampai-sampai badan lagi sakit pun,ia tidak berani bilang kepada mandornya,terus saja saya kerja meskipun sedang sakit.
Kendati berusaha berlaku jujur dan menurut aturan-aturan bikinan perusahaan perkebunan di masa kolonial,dan beberapa tahun di masa kemerdekaan,nasib Ledre setelah pensiun toh tidak menggembirakan. Untuk tidak bilang sekarat bin melarat. Bersama seorang buyut perempuannya berumur 11 tahun,ia mengenyam sisa-sisa hidupnya disebuah gubuk kecil berdinding gedek dan berdaun gubuk nipah. Apa yang bisa diharapkan dari uang pensiun Rp.15.000 sebulan dari perkebunan..? Sekadar untuk bisa bertahan hidup,Ledre terpaksa berlaku bijak dengan pengeluarannya sehari-hari. " Saya berusaha untuk tidak menggantungkan hidup saya pada anak cucu. Mereka sendiri pun pas-pasan. Ndak tegak saya ngrusuhi(bikin repot) mereka",katanya bergetar. nasib anak-anak dan cucu mbah Ledre pun,belum bisa lepas dan belitan lingkaran setan perkebunan,yang nyaris tidak menjanjikan perbaikan nasib yang bearti. Pilihan hidup mereka terpaksa tidak bisa lain dari yang dilakukan orang tua atau nenek kakek mereka dahulu,jadi kuli,kuli dan kuli.