skin kampung indian: Sejarah Hotel Des Indes di Batavia

Sejarah Hotel Des Indes di Batavia



jakarta tempo dulu





HOTEL "DES INDES" DI BATAVIA :
Dengan dimulainya pembangunan sebuah hotel bertingkat banyak Duta Merlin tamatlah sebuah hotel tua yang kenamaan seperti Raffles Hotel Singapura atau Clarence House di London. Dan jakarta kehilangan riwayat gedung yang telah menyaksikan perkembangan kotanya dari akhir abad ke-18 sampai sekarang.
  
Tidak seluruh 'Hotel Duta' yang dulunya bernama Hotel Des Indies itu usianya setua itu. Bagian yang tertua adalah " Dependance " atau Paviliun sebelah Selatan yang biasanya dipakai untuk resepsi atau pameran. bangunan ini dulunya bukan paviliun,merupakan rumah kediaman yang lengkap dengan bangunan-bangunan gandok rumah-rumah badak,kandang kuda dan kebun yang cukup luas.Keadaan sekarang rumah yang dulunya bernama " Moenwijk " itu tak banyak mengalami perubahan.
Persil tanah " Moenwijk " adalah sebuah diantara rumah-rumah peristirahatan yang dibangun orang-orang kaya disepanjang terusan " Molenvliet  pada bagian terakhir abad ke-18.

Perkembangan kota kearah selatan ini dipelopori dengan pembuatan saluran air Molenvliet oleh kapten " Bingem " yang menghubungkan kota dengan apa yang nantinya menjadi " Weltervreden " jalan yang menghubungkan Batavia dengan daera pedalaman ini sudah ada dalam abad ke-17. Dalam abad ke-18 orang-orang kaya terutama pejabat-pejabat VOC berlomba-lomba membangun rumah mewah sepanjang jalan ini.

karena keadaan dikota makin tidak sehat orang-orang mampu mulai membangun wisma-wisma dengan kebun-kebun luas di daerah luar kota (batas kota disebelah selatan adalah sekitar Pancoran Glodok sekarang),lebih-lebih ke daerah selatan. Faktor lalu-lintas air dan darat membuat perkembangan kearah ini lebih menguntungkan. Mula-mula wisma ini hanya didiami selama hari minggu  dan libur lain,jadi seperti orang kaya sekarang dengan bungalow-bungalownya di Puncak (Bogor). jaraknya untuk waktu itupun lumayan : dari pusat kota kerumah istirahat Reiner de Klerk di Molenvliet (sekarang Arsip Nasiona) diperlukan waktu satu jam berkereta.
Moewijk  boleh dikatakan rumah yang paling dekat dengan pinggiran sebelah selatan pada jamannya. 

Sekitar gedung Tabungan Pos dan Asrama CPM Jaga Monyet sekarang terdapat terdapat pos penjagaan atau benteng kecil Risjwijk. Nama jaga Monyet memberikan kesan bahwa daerah diluar benteng seperti Harmoni Petojo dll masih hutan lebat berawa-rawa. moenwijk memperoleh namanya dari pemilik pertamanya " Andriaan Moens " seorang Directeur VOC yang kaya raya. Sayang tak banyak yang kita ketahui tentang riwayat rumah dan tanah yang luasnya 22.000 m2 ini,kecuali akte-akte jual beli yang mengisahkan perpindahannya ketangan-tangan yang berlainan. Dalam tahun 1816 agaknya riwayatnya  sebagai " landhurs " berakhir ketika rumah megah itu dijadikan sekolah merangkap asrama puteri.
  
Tanah terbesar dalam persil 'Duta Merlin' berasal dari tanah Reinier de Klerk yang luasnya 30.000 m2. Reiner de Klerk sebelum menjabat sebagai Gubernur jenderal menduduki jabatan-jabatan yang menguntungkan  dalam Kompeni sehingga menjadi kaya raya. ia seorang yang keranjingan kemewahan,memiliki beberapa wisma dengan kebunnya,diantaranya Arsip Nasional dijalan Gajah Mada.

Tanah disebelah utara Moenswijk itu dimiliki oleh de Klerk sewaktu masih menjabat sebagai anggota Raad van Indie dalam tahun 1761. Dalam tahun 1774 ternyata sebuah rumah batu besar dengan serambi belakang dapur,ruang-ruang untuk para budak(pada waktu de Klerk meninggal tercatat 200 orang budak belian dalam warisannya),istal-istal, rumah- rumah kereta dan 20 rumah kusir de Klerk mempunyai orkes pribadi dirumahnya,terdiri dari pemukul genderang,peniup seruling,pemain kontrabas,2 peniupklarinet,5 pemain biola dan 2 peniup trompet. Suatu kombinasi aneh pemain-pemain istrumen-istrumen pukul dan tiup diamainkan oleh 17 orangbudak pemusik. mungkin Tanjidor yang main dikota Batavia pada hari-hari Tahun Baru merupakan peninggalan orkes ganjil ini. Kurang jelas musik-musik atau komposisi-komposisi yang bagaimana yang dimainkan mereka.. Para musisi rumahan ini selalu siap untuk main,menunggu istirahat dari tuan atau nyanya rumah yang mungkin pada suatu saat ingin berdansa,atau duduk menambah selera pada waktu makan. Juga masih ada peniup-peniup trompet khusus untuk menyambut kedatangan tua rumah atau tamu-tamunya. Kebiasaan meniup trompet kehormatan untuk menyambut kehadiran Gubernur Jenderal ditempat umum masih dipertahankan sampai abad ke-19,kecuali itu ada lagi pengawal kehormatan berjumlah 40-60 orang.

De Klerk hanya memiliki rumah ini selama 6 tahun : dalam tahun 1774 dijual seharga 2000 ringgit kepada C.Potmans,seorang ahli obat-obatan yang hanya mendiaminya selama 4 tahun. Seorang pemilik baru,seorang anak dari G.D. van Der Parra,sempat meninggalinya selama 20 tahun. setelah mengalami beberapa kali pergantian majikan lagi,dalam tahun 1824 dibeli oleh pemerintah dari D.J. Papet untuk dijadikan asrama puteri,seperti yang terjadi juga dengan Moenwijk delapan tahun kemudian.

Kemudian dua orang pengusaha Perancis bernama A.Chaulan dan J.J. Dodero membelinya dalam tahun 1828. Kedua orang ini agaknya memang berusaha dibidang perhotelan,sebab mereka mempunyai sebuah losmen di Bidara Cina. Nama Chaulan yang sudah tahu bahwa ini nama lama jalan kemakmuran.

Mula-mula hotel ini dikenal dengan nama Hotel Chaulan saja,kemudian menjadi Hotel DE Provence (1835) untuk menghormati daerah kelahiran pemiliknya. Anak Chaulan " Etienne " yang sudah lama tinggal di Batavia dalam tahun 1841 mengadakan perseroan dengan seorang bernama DEELMAN,yang namanya kini masih kita kenali dalam DELMAN,kendaraan yang direkanya dalam bengkel keretanya. pimpinan baru dalam tahun 1854. C.Deninghoff membatisnya kembali menjadi Rotterdamsch Hotel.

Nama yang membawanya kepuncak kemegahaany. Hotel des Indes,diresmikan dengan akte pada tgl 1 Mei 1856. Menurut De Haan,penulis buku OUD BATAVIA yang terkenal,nama baru ini adalah hasil kasak-kusuk penulis Multatuli dengan pemilik hotel. Konon multatuli yang waktu itu tinggal sementara di hotel itu tak melewatkan kesempatan untuk membujuk pemiliknya agar mengganti nama hotelnya menjadi " des Indes ".
  
Jacob Lugt pemilik baru yang membeli hotel des Indes dalam tahun 1888,adalah seorang bekas militer dan seorang pengusaha yang sukses. Dialah yang mulai mengusahakan hotel itu secara besar-besaran. Dalam tahun-tahun 1891-94 tanah-tanah disekitarnya dibeli dan disatukan menjadi satu kompleks hotel yang cukup besar. Meliputi luas 80.oo m2.

Tanah itu termasuk bekas Moenswijk,yang dijadikan receptie-paviljoen. Tanah Reiner de Klerk. Persil yang disebut Hortus Medicus (kebun tanaman obat-obatan) douarierre (janda) van der Parra dan persil Goldmann yang berbatasan dengan Gang Chaulan.

 Entah mengapa jacob Lugt yang kaya-raya itu tidak sukses dalam usaha perhotelan. Entah karena ia rudin dalam spekulasi-spekulasi lain. ataukah ia terlalu royal terhadap tamu-tamunya,dalam tahun 1897 ia bangkrut dan hotel tersebut dijadikan Perseroan Terbatas . Pemegang saham segera mengadakan penghematan-penghematan sebelumnya,dalam tahun-tahun 1890 taripnya hanya f 5,-termasuk minumnya gratis. Betapa mewahnya makanan hotel dapat kita baca dalam laporan penulis M.Buys.

 " Siang-siang pukul setengah satu atau jam satu dihidangkan apa yang disebut risttafel,dengan makanan pokok nasi dengan lauk-pauk beraneka macam seperti ayam yang dimasak dengan pelbagai cara,Saus kare,daging,sayur mayur,kaldu,banyak jenis sambal-sambalan,ikan merah makasar,chutney dan seterusnya. Sesudah itu masih dihidangkan makanan Eropah seperti sayur-sayuran,daging dan selada. Makan siang itu diakhiri dengan desert. 
  
Setelah penghematan makan pagi hanya dengan 2 butir telur untuk setiap tamu,keju,daging dingin dan daging kaleng,selalai dsb. Makan malam terdiri dari sup,kroket,tiga jenis hidangan dan dessert. pada makan siang tak diadakan pengurangan sebab khawatir tamu-tamu merasa dirugikan.

 Perluasan dengan menambah kamar-kamar baru diadakan dalam tahun 1898,sembilan tahun kemudian ditambah dengan paviliun-paviliun baru. Bagian depan yang besar dengan lobbynya  yang luas itu dibangun dalam tahun 1931. Sedangkan rumah asli yang kita lihat sebagai bangunan induk dalam foto-foto tempo doeloe pada pertukaran abad ini masih berdiri dibelakang,dikenal sebagai " Rumah Merah ".
  
Sejak masa itu sampai tahun-tahun 50'an,hotel des Indes merupak hotel kelas satu yang tiada keduanya dalam prestise dan kedudukannya makin merosot di Jakarta. Sesudah itu keadaannya makin merosot ,sebab harus menanggung pegawai-pegawai negeri yang tak mendapat perumahan di Ibukota. Kemerosotan ini makin menjadi-jadi setelah pengambilan alih:hotel kelas satu ini seakan-akan seakan menjadi asrama yang besar,dan setelah dibukanya Hotel Indonesia namanya hampir tak disebut-sebut lagi.

Tak lama lagi Hotel des Indes yang sudah menjalani riwayat sepanjang lebih dari 100 tahun tahun itu harus diratakan dengan bumi. Dengan hilang pula satu babak sejarah. Ternyata pragmatisme lebih menang daripada hisrorisitas dan kenangan pada jaman lampau. atau memang orang kurang suka pada kenangan-kenangan yang mengingatkan kolonialisme itu ... ? - UTUK -

(Sumber : Intisari Agustus 1971 No.97)

DIJUAL BUKU-BUKU LAWAS ... !!!