Photo sekelompok pemuda Tionghoa tempo doeloe |
"Sebuah buku yang berisi pandangan mata kebiadaban abad ke-18 di Batavia mengisahkan sejarah kelam yang semoga tak terulang lagi.
Catatan Harian Si Penjagal Tragedi pembantaian di Batavia.
"Saya ambil alu penumbuk padi seukuran lengan. Lalu, tetangga yang sering mengajak saya makan malam itu saya pukul hingga tewas,” ungkap sang pelaku. Dia memasuki rumah si tetangga Cina tadi, mengambil pistol dan banyak peluru. Kemudian dia keluar dan membunuh dengan menembak membabi buta.
Si pelaku tampaknya kesetanan, “Saya merasa seperti tukang jagal sehingga tak bisa membedakan membunuh seorang Cina atau seekor anjing.” Itulah secuplik kisah dari buku Historical Sites of Jakarta karya Adolf Heuken, seorang pastor asal Jerman yang telah menjadi warga negara Indonesia. Dia mengisahkan kembali sebuah buku milik seseorang yang terlibat dalam pembantaian dan perampokan warga Cina di Batavia 9 Oktober 1740. Buku Reise in Ost-Indien yang terbit pada 1751 itu ditulis oleh si pelakunya sendiri, G.Bernhard Schwartzen.
Buku itu melukiskan laporan pandangan mata ketika huru-hara itu terjadi. Isinya sangat mengerikan. Bagaimana tidak, dia mengisahkan ketika para pelaut membongkar paksa pintu milik orang-orang Cina di dalam tembok kota Batavia. Pada jam sembilan, Gubernur-Jenderal memanggil para pegawai VOC untuk memenggal kepala orang Cina. Pembantaian pun terlaksana.
Ironisnya, Schwartzen juga terlibat membunuh orang Cina yang dia kenal baik dan kerap mengundangnya makan malam. Menurutnya, baru empat hari kemudian pembantaian berhenti. Tak tersisa lagi orang Cina di dalam tembok kota.
Seluruh jalanan dan gang-gang dipenuhi mayat, kanal penuh dengan mayat, tulisnya. Bahkan kaki kita tak akan basah ketika menyeberangi kanal jika melewati tumpukan mayat-mayat itu.
Pada pukul satu siang, Kota Batavia terbakar. Orang-orang Cina itu membakar rumah mereka sendiri daripada jatuh ke tangan para perampok. Bahkan, beberapa orang bunuh diri dengan menggantung di kayu yang melintang di atap rumah. Para penjagal dan perampok itu juga memasuki rumah sakit warga Cina dan membunuh pasien-pasiennya. Tak ketinggalan dua ratus orang Cina yang tengah mendekam di tahanan Balai Kota, mereka ditikam sampai tewas.
Meskipun peristiwa biadab itu telah berlalu 272 tahun yang lalu, kita berharap kebijakan yang bermuatan prasangka terhadap suatu etnis atau perlakuan yang berbeda karena ras, suku, atau agama sudah sepantasnya diakhiri segera.
Sumber:National Geographic Indonesia oleh Mahandis Y. Thamrin/NGI
Sejak peristiwa kelam 1740, VOC tidak membolehkan pecinan dalam tembok kota. Pada 3 Maret 1741 VOC memberikan tanah di selatan tembok kota milik Arya Glitok, seorang adiwangsa asal Bali, sebagai permukiman warga Cina. Kini, dikenal sebagai Glodok (Hafidz Novalsyah/NGI).