" GEDUNG MUSEUM GEOLOGI BANDUNG " |
Gemeente-werken Bandung dengan dikomandani Ir. F.J.L. Ghijsels membangun 750 bangunan modern untuk ukuran saat-itu, sebagai bagian dari persiapan kepindahan ibukota.Pada tahun 1923, Maestro Arsitek Belanda Hendrik Petrus-Berlage berkunjung ke kota-kota di Hindia Belanda termasuk Bandung. Ia mengkritik Arsitektur “jiplakan” bangunan-bangunan di Eropa yang mendominasi wajah kota Bandung saat itu. Hal ini memicu diskusi arsitektur baru yang dipelopori C.P. Wolff Schoemaker bersama Maclaine-Point, yang turut berperan dalam pengembangan-arsitektur indo-eropa selanjutnya.Arsitektur yang sangat kental sentuhan barat pada bangunan di Bandung :
* Art Nouveau, salah satu tokohnya adalah PAJ Moojen (1907)
* Art Deco, oleh arsitek generasi berikutnya di tahun 1920-an 1920-1940-an
Pembangunan Kota Bandung mencapai puncaknya, ketika para arsitek Belanda mencoba melakukan inovasi dalam seni bangunan yang berbeda dari apa yang lazim dilakukan di negeri asal mereka yang beriklim subtropis. hal ini berkaitan dengan gerakan arsitektur nasional & internasional, yakni upaya mencari
identitas Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia dengan rujukan Arsitektur tradisional nusantara (Jawa). Pencarian Arsitektur yang responsif terhadap kondisi iklim dan geografis setempat sebagai seni bangunan baru (Arsitektur Indis).Arsitektur Hibrid ini menghasilkan
• Akulturasi budaya barat dan timur di Bandung
• Sebuah rekayasa sempurna ketika bangunan barat yang anggun mencoba tanggap terhadap kondisi lokal
Tokoh “Indo-Europeesche Architectuur Stijl”
• Ed Cuypers
• H. Maclaine Point
• P.A.J Moojen
Menurut C.P. Wolff Schoemaker, Arsitektur Indo-Eropa
berciri sebagai berikut :
• Sosok bangunan umumnya simetris
• Memiliki ritme vertikal dan horizontal yang relatif sama kuat
• Konstruksi bangunan disesuaikan dengan iklim tropis, terutama pada pengaturan ruang,masuk sinar matahari,dan perlindungan hujan sedangkan untuk bangunan tipe Eropa di Braga, Prof. Dr. Ir. C.P. Wolf Schoemaker Memberikan jalan keluar sebagai berikut untuk merespon iklim tropis:
• Ruang seluas mungkin dengan atap tinggi dan tembok tebal
• Lantai marmer dianjurkan agar tercipta suasana sejuk
• Ventilasi untuk sirkulasi udara dengan jendela warna-warni khas Art Deco.
Bangunan – bangunan kolonial bergaya arsitektur Indo eropa :
• Gedung Sate, J. Gerber (1920-1924)
• Aula Barat ITB, Ir H. Maclaine Point (1920)
kedua bangunan ini dipuji oleh Petrus Berlage saat kunjungannya ke Bandung, karena arsitekturnya
yang merespon budaya & iklim setempat
• Masjid Cipaganti, C.P. Wolff Schoemaker
• Villa Merah ITB, C.P. Wolff Schoemaker
• Rumah-rumah peristirahatan Belanda di Bandung.