skin kampung indian: Jakarta Tempo Dulu
Tampilkan postingan dengan label Jakarta Tempo Dulu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jakarta Tempo Dulu. Tampilkan semua postingan

Sejarah Berdirinya Pemuda Kaum Betawi





SEDANG BELIBUR DI PANTAI CILINCING
FOTO DIBUAT TAHUN 1933

PEMUDA KAUM BETAWI didirikan pada permulaan tahun 1927, oleh Pemuda-Pemuda Betawi yang merasa pada waktu itu terbelakang dengan Pemuda-Pemuda lain daerah. Dalam bulan Mei 1927 diadakan pemilihan pengurus: Sebagai Ketua pertama dipilih Sdr. Tabrani, dan tahun 1928 Sdr. Abdul Chalik dipilih sebagai Ketua.

Pada saat itu juga terlihat bahwa Pemuda Kaum Betawi mempunyai dasar Kebangsaan, akan tetapi sudah tidak kedaerahan. Pemuda Kaum Betawi membuka pintu untuk semua "Pemuda Indonesia", bahkan di antara anggota Pengurus ada beberapa orang yang bukan dinamakan "Betawi Asli". Bahasa yang digunakan dalam rapat-rapat ialah Bahasa Indonesia. Dalam tahun 1927 kegiatan Pemuda Kaum Betawi dipusatkan ke dalama ini dapat dimengerti, karena maksud utamanva supaya "Pemuda-pemuda Betawi" turut dalam pergerakan, seperti pemuda-pemuda lain daerah. Pemuda Kaum Betawi mulai bergerak ke luar, yakni dengan jalan mendukung Bapak-Bapaknya dari Kaum Betawi.

Karena memang sesuai dengan keadaan, pada waktu itu Pemuda Kaum Betawi setelah menerima Undangan dari Panitya Kongres Pemuda yang ke II (dua) dalam rapat anggotanya yang diadakan khusus untuk itu memutuskan menyetujui diadakan Kongres Pemuda II, dan akan turut aktif.

Sdr. Rochjani Suud, yang pada waktu itu menjabat Sekretaris ditunjuk sebagai wakil Pemuda Kaum Betawi, untuk duduk dalam Panitya Kongres ke II Pemuda 1928 yang melahirkan SUMPAH PEMUDA.

Setelah 28 Oktober 1928 dianjurkan pada anggota yang masih remaja supaya mulai menggabungkan diri pada perhimpunan-perhimpunan yang lebih besar seperti Pemuda Indonesia, Jong Java dan sebagainya. Yang sudah lebih dewasa, memusatkan kegiatannva dalam Kaum Betawi. Sdr. Rochjani Suud sendiri selanjutnya ditugaskan mendampingi Sdr. Moch. Husni Thamrin dalam perjuangannya dalam Kaum Betawi dan Badan-Badan lainnya.
Jakarta,Februari 1974.
                                             


Sumber:45 Tahun Sumpah Pemuda.

 
DIJUAL BUKU-BUKU LAWAS ... !!!


Sejarah Pembatain di Batavia 9 Oktober 1740




jakarta tempo dulu
Photo sekelompok pemuda Tionghoa tempo doeloe

"Sebuah buku yang berisi pandangan mata kebiadaban abad ke-18 di Batavia mengisahkan sejarah kelam yang semoga tak terulang lagi.

  Catatan Harian Si Penjagal Tragedi pembantaian di Batavia.

"Saya ambil alu penumbuk padi seukuran lengan. Lalu, tetangga yang sering mengajak saya makan malam itu saya pukul hingga tewas,” ungkap sang pelaku. Dia memasuki rumah si tetangga Cina tadi, mengambil pistol dan banyak peluru. Kemudian dia keluar dan membunuh dengan menembak membabi buta.

Si pelaku tampaknya kesetanan, “Saya merasa seperti tukang jagal sehingga tak bisa membedakan membunuh seorang Cina atau seekor anjing.”  Itulah secuplik kisah dari buku Historical Sites of Jakarta karya Adolf Heuken, seorang pastor asal Jerman yang telah menjadi warga negara Indonesia. Dia mengisahkan kembali sebuah buku milik seseorang yang terlibat dalam pembantaian dan perampokan warga Cina di Batavia 9 Oktober 1740. Buku Reise in Ost-Indien yang terbit pada 1751 itu ditulis oleh si pelakunya sendiri, G.Bernhard Schwartzen.
 

Buku itu melukiskan laporan pandangan mata ketika huru-hara itu terjadi. Isinya sangat mengerikan. Bagaimana tidak, dia mengisahkan ketika para pelaut membongkar paksa pintu milik orang-orang Cina di dalam tembok kota Batavia. Pada jam sembilan, Gubernur-Jenderal memanggil para pegawai VOC untuk memenggal kepala orang Cina. Pembantaian pun terlaksana.
Ironisnya, Schwartzen juga terlibat membunuh orang Cina yang dia kenal baik dan kerap mengundangnya makan malam. Menurutnya, baru empat hari kemudian pembantaian berhenti. Tak tersisa lagi orang Cina di dalam tembok kota.


Seluruh jalanan dan gang-gang dipenuhi mayat, kanal penuh dengan mayat, tulisnya. Bahkan kaki kita tak akan basah ketika menyeberangi kanal jika melewati tumpukan mayat-mayat itu.

Pada pukul satu siang, Kota Batavia terbakar. Orang-orang Cina itu membakar rumah mereka sendiri daripada jatuh ke tangan para perampok. Bahkan, beberapa orang bunuh diri dengan menggantung di kayu yang melintang di atap rumah. Para penjagal dan perampok itu juga memasuki rumah sakit warga Cina dan membunuh pasien-pasiennya. Tak ketinggalan dua ratus orang Cina yang tengah mendekam di tahanan Balai Kota, mereka ditikam sampai tewas.


Meskipun peristiwa biadab itu telah berlalu 272 tahun yang lalu, kita berharap kebijakan yang bermuatan prasangka terhadap suatu etnis atau perlakuan yang berbeda karena ras, suku, atau agama sudah sepantasnya diakhiri segera.
 


Sumber:National Geographic Indonesia oleh Mahandis Y. Thamrin/NGI

Sejak peristiwa kelam 1740, VOC tidak membolehkan pecinan dalam tembok kota. Pada 3 Maret 1741 VOC memberikan tanah di selatan tembok kota milik Arya Glitok, seorang adiwangsa asal Bali, sebagai permukiman warga Cina. Kini, dikenal sebagai Glodok (Hafidz Novalsyah/NGI). 











DIJUAL BUKU-BUKU LAWAS ... !!!


Sejarah Hotel Des Indes di Batavia



jakarta tempo dulu





HOTEL "DES INDES" DI BATAVIA :
Dengan dimulainya pembangunan sebuah hotel bertingkat banyak Duta Merlin tamatlah sebuah hotel tua yang kenamaan seperti Raffles Hotel Singapura atau Clarence House di London. Dan jakarta kehilangan riwayat gedung yang telah menyaksikan perkembangan kotanya dari akhir abad ke-18 sampai sekarang.
  
Tidak seluruh 'Hotel Duta' yang dulunya bernama Hotel Des Indies itu usianya setua itu. Bagian yang tertua adalah " Dependance " atau Paviliun sebelah Selatan yang biasanya dipakai untuk resepsi atau pameran. bangunan ini dulunya bukan paviliun,merupakan rumah kediaman yang lengkap dengan bangunan-bangunan gandok rumah-rumah badak,kandang kuda dan kebun yang cukup luas.Keadaan sekarang rumah yang dulunya bernama " Moenwijk " itu tak banyak mengalami perubahan.
Persil tanah " Moenwijk " adalah sebuah diantara rumah-rumah peristirahatan yang dibangun orang-orang kaya disepanjang terusan " Molenvliet  pada bagian terakhir abad ke-18.

Perkembangan kota kearah selatan ini dipelopori dengan pembuatan saluran air Molenvliet oleh kapten " Bingem " yang menghubungkan kota dengan apa yang nantinya menjadi " Weltervreden " jalan yang menghubungkan Batavia dengan daera pedalaman ini sudah ada dalam abad ke-17. Dalam abad ke-18 orang-orang kaya terutama pejabat-pejabat VOC berlomba-lomba membangun rumah mewah sepanjang jalan ini.

karena keadaan dikota makin tidak sehat orang-orang mampu mulai membangun wisma-wisma dengan kebun-kebun luas di daerah luar kota (batas kota disebelah selatan adalah sekitar Pancoran Glodok sekarang),lebih-lebih ke daerah selatan. Faktor lalu-lintas air dan darat membuat perkembangan kearah ini lebih menguntungkan. Mula-mula wisma ini hanya didiami selama hari minggu  dan libur lain,jadi seperti orang kaya sekarang dengan bungalow-bungalownya di Puncak (Bogor). jaraknya untuk waktu itupun lumayan : dari pusat kota kerumah istirahat Reiner de Klerk di Molenvliet (sekarang Arsip Nasiona) diperlukan waktu satu jam berkereta.
Moewijk  boleh dikatakan rumah yang paling dekat dengan pinggiran sebelah selatan pada jamannya. 

Sekitar gedung Tabungan Pos dan Asrama CPM Jaga Monyet sekarang terdapat terdapat pos penjagaan atau benteng kecil Risjwijk. Nama jaga Monyet memberikan kesan bahwa daerah diluar benteng seperti Harmoni Petojo dll masih hutan lebat berawa-rawa. moenwijk memperoleh namanya dari pemilik pertamanya " Andriaan Moens " seorang Directeur VOC yang kaya raya. Sayang tak banyak yang kita ketahui tentang riwayat rumah dan tanah yang luasnya 22.000 m2 ini,kecuali akte-akte jual beli yang mengisahkan perpindahannya ketangan-tangan yang berlainan. Dalam tahun 1816 agaknya riwayatnya  sebagai " landhurs " berakhir ketika rumah megah itu dijadikan sekolah merangkap asrama puteri.
  
Tanah terbesar dalam persil 'Duta Merlin' berasal dari tanah Reinier de Klerk yang luasnya 30.000 m2. Reiner de Klerk sebelum menjabat sebagai Gubernur jenderal menduduki jabatan-jabatan yang menguntungkan  dalam Kompeni sehingga menjadi kaya raya. ia seorang yang keranjingan kemewahan,memiliki beberapa wisma dengan kebunnya,diantaranya Arsip Nasional dijalan Gajah Mada.

Tanah disebelah utara Moenswijk itu dimiliki oleh de Klerk sewaktu masih menjabat sebagai anggota Raad van Indie dalam tahun 1761. Dalam tahun 1774 ternyata sebuah rumah batu besar dengan serambi belakang dapur,ruang-ruang untuk para budak(pada waktu de Klerk meninggal tercatat 200 orang budak belian dalam warisannya),istal-istal, rumah- rumah kereta dan 20 rumah kusir de Klerk mempunyai orkes pribadi dirumahnya,terdiri dari pemukul genderang,peniup seruling,pemain kontrabas,2 peniupklarinet,5 pemain biola dan 2 peniup trompet. Suatu kombinasi aneh pemain-pemain istrumen-istrumen pukul dan tiup diamainkan oleh 17 orangbudak pemusik. mungkin Tanjidor yang main dikota Batavia pada hari-hari Tahun Baru merupakan peninggalan orkes ganjil ini. Kurang jelas musik-musik atau komposisi-komposisi yang bagaimana yang dimainkan mereka.. Para musisi rumahan ini selalu siap untuk main,menunggu istirahat dari tuan atau nyanya rumah yang mungkin pada suatu saat ingin berdansa,atau duduk menambah selera pada waktu makan. Juga masih ada peniup-peniup trompet khusus untuk menyambut kedatangan tua rumah atau tamu-tamunya. Kebiasaan meniup trompet kehormatan untuk menyambut kehadiran Gubernur Jenderal ditempat umum masih dipertahankan sampai abad ke-19,kecuali itu ada lagi pengawal kehormatan berjumlah 40-60 orang.

De Klerk hanya memiliki rumah ini selama 6 tahun : dalam tahun 1774 dijual seharga 2000 ringgit kepada C.Potmans,seorang ahli obat-obatan yang hanya mendiaminya selama 4 tahun. Seorang pemilik baru,seorang anak dari G.D. van Der Parra,sempat meninggalinya selama 20 tahun. setelah mengalami beberapa kali pergantian majikan lagi,dalam tahun 1824 dibeli oleh pemerintah dari D.J. Papet untuk dijadikan asrama puteri,seperti yang terjadi juga dengan Moenwijk delapan tahun kemudian.

Kemudian dua orang pengusaha Perancis bernama A.Chaulan dan J.J. Dodero membelinya dalam tahun 1828. Kedua orang ini agaknya memang berusaha dibidang perhotelan,sebab mereka mempunyai sebuah losmen di Bidara Cina. Nama Chaulan yang sudah tahu bahwa ini nama lama jalan kemakmuran.

Mula-mula hotel ini dikenal dengan nama Hotel Chaulan saja,kemudian menjadi Hotel DE Provence (1835) untuk menghormati daerah kelahiran pemiliknya. Anak Chaulan " Etienne " yang sudah lama tinggal di Batavia dalam tahun 1841 mengadakan perseroan dengan seorang bernama DEELMAN,yang namanya kini masih kita kenali dalam DELMAN,kendaraan yang direkanya dalam bengkel keretanya. pimpinan baru dalam tahun 1854. C.Deninghoff membatisnya kembali menjadi Rotterdamsch Hotel.

Nama yang membawanya kepuncak kemegahaany. Hotel des Indes,diresmikan dengan akte pada tgl 1 Mei 1856. Menurut De Haan,penulis buku OUD BATAVIA yang terkenal,nama baru ini adalah hasil kasak-kusuk penulis Multatuli dengan pemilik hotel. Konon multatuli yang waktu itu tinggal sementara di hotel itu tak melewatkan kesempatan untuk membujuk pemiliknya agar mengganti nama hotelnya menjadi " des Indes ".
  
Jacob Lugt pemilik baru yang membeli hotel des Indes dalam tahun 1888,adalah seorang bekas militer dan seorang pengusaha yang sukses. Dialah yang mulai mengusahakan hotel itu secara besar-besaran. Dalam tahun-tahun 1891-94 tanah-tanah disekitarnya dibeli dan disatukan menjadi satu kompleks hotel yang cukup besar. Meliputi luas 80.oo m2.

Tanah itu termasuk bekas Moenswijk,yang dijadikan receptie-paviljoen. Tanah Reiner de Klerk. Persil yang disebut Hortus Medicus (kebun tanaman obat-obatan) douarierre (janda) van der Parra dan persil Goldmann yang berbatasan dengan Gang Chaulan.

 Entah mengapa jacob Lugt yang kaya-raya itu tidak sukses dalam usaha perhotelan. Entah karena ia rudin dalam spekulasi-spekulasi lain. ataukah ia terlalu royal terhadap tamu-tamunya,dalam tahun 1897 ia bangkrut dan hotel tersebut dijadikan Perseroan Terbatas . Pemegang saham segera mengadakan penghematan-penghematan sebelumnya,dalam tahun-tahun 1890 taripnya hanya f 5,-termasuk minumnya gratis. Betapa mewahnya makanan hotel dapat kita baca dalam laporan penulis M.Buys.

 " Siang-siang pukul setengah satu atau jam satu dihidangkan apa yang disebut risttafel,dengan makanan pokok nasi dengan lauk-pauk beraneka macam seperti ayam yang dimasak dengan pelbagai cara,Saus kare,daging,sayur mayur,kaldu,banyak jenis sambal-sambalan,ikan merah makasar,chutney dan seterusnya. Sesudah itu masih dihidangkan makanan Eropah seperti sayur-sayuran,daging dan selada. Makan siang itu diakhiri dengan desert. 
  
Setelah penghematan makan pagi hanya dengan 2 butir telur untuk setiap tamu,keju,daging dingin dan daging kaleng,selalai dsb. Makan malam terdiri dari sup,kroket,tiga jenis hidangan dan dessert. pada makan siang tak diadakan pengurangan sebab khawatir tamu-tamu merasa dirugikan.

 Perluasan dengan menambah kamar-kamar baru diadakan dalam tahun 1898,sembilan tahun kemudian ditambah dengan paviliun-paviliun baru. Bagian depan yang besar dengan lobbynya  yang luas itu dibangun dalam tahun 1931. Sedangkan rumah asli yang kita lihat sebagai bangunan induk dalam foto-foto tempo doeloe pada pertukaran abad ini masih berdiri dibelakang,dikenal sebagai " Rumah Merah ".
  
Sejak masa itu sampai tahun-tahun 50'an,hotel des Indes merupak hotel kelas satu yang tiada keduanya dalam prestise dan kedudukannya makin merosot di Jakarta. Sesudah itu keadaannya makin merosot ,sebab harus menanggung pegawai-pegawai negeri yang tak mendapat perumahan di Ibukota. Kemerosotan ini makin menjadi-jadi setelah pengambilan alih:hotel kelas satu ini seakan-akan seakan menjadi asrama yang besar,dan setelah dibukanya Hotel Indonesia namanya hampir tak disebut-sebut lagi.

Tak lama lagi Hotel des Indes yang sudah menjalani riwayat sepanjang lebih dari 100 tahun tahun itu harus diratakan dengan bumi. Dengan hilang pula satu babak sejarah. Ternyata pragmatisme lebih menang daripada hisrorisitas dan kenangan pada jaman lampau. atau memang orang kurang suka pada kenangan-kenangan yang mengingatkan kolonialisme itu ... ? - UTUK -

(Sumber : Intisari Agustus 1971 No.97)

DIJUAL BUKU-BUKU LAWAS ... !!!