Pajajaran sebagai kerajaan yang sudah 'sirna' dikenal Belanda sejak tahun 1687. Tanggal 1 September tahun itu 'Sersan Scipio' dengan pasukannya mengunjungi daerah 'Batutulis' yang dicatatnya sudah berupa puing-puing yang dikelilingi hutan tua. Seorang diantara anggota ekspedisinya menderita patah leher karena diterkam harimau di daerah tersebut dua hari sebelumnya.
Scipio mengetahui dari anak buah 'Letnan Tanuwijaya'(orang Sumedang) bahwa puing-puing itu peninggalan kerajaan Pakuan atau Pajajaran.
Tanggal 23 Desember 1687,' G.J.Joanes Camphuijs
' menulis laporan kepada atasannya di Amsterdam yang diantaranya
berbunyi," dat hetseve paleijs en specialijck de verheven zilplaets van
den javaense Coning Padzia Dziarum nu nog geduizig door een groot getal tijgers
bewaakt en bewaart wort " (bahwa istana tersebut dan terutama tempat duduk
yang ditinggikan kepunyaan raja Jawa 'Pajajaran' sekarang masih dikerumuni dan
di jaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau). Laporan tentang harimau ini
berasal dari penduduk 'Kedung Halang' dan 'Parung Angsana' yang mengiringi
Scipio dalam ekspedisinya. Mungkin mereka itulah 'sumber isyu' bahwa prajurit
Pajajaran 'berubah wujud menjadi harimau'.
Tiga tahun kemudian 'Kapiten Adolf Winkler' diperintahkan memimpin ekspedisi khusus untuk membuat peta lokasi bekas 'Pakuan'. Pada hari kamis tanggal 25 Juni 1690 Winkler beserta rombongannya tiba di lokasi bekas keraton. Ia menemukan 'een accrate steen vloering off weg'(sebuah lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi) jalan itu menuju ke bekas paseban tua dan di situ ia melihat ada 7 batang pohon beringin. Dari penduduk Parung Angsana yang mengiringinya 'Winkler' mendapat penjelasan bahwa yang dilihat mereka itu adalah peninggalan 'Prabu Siliwangi'.
Tiga tahun kemudian 'Kapiten Adolf Winkler' diperintahkan memimpin ekspedisi khusus untuk membuat peta lokasi bekas 'Pakuan'. Pada hari kamis tanggal 25 Juni 1690 Winkler beserta rombongannya tiba di lokasi bekas keraton. Ia menemukan 'een accrate steen vloering off weg'(sebuah lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi) jalan itu menuju ke bekas paseban tua dan di situ ia melihat ada 7 batang pohon beringin. Dari penduduk Parung Angsana yang mengiringinya 'Winkler' mendapat penjelasan bahwa yang dilihat mereka itu adalah peninggalan 'Prabu Siliwangi'.
Sejak saat itu nama 'Siliwangi' mulai masuk dalam catatan Kompeni Belanda. Daerah Bogor selalu dicatatnya dengan nama 'Pajajaran',bahkan 'Gunung Pangrango' disebutnya 'Gunung Pajajaran'. Juga 'Abraham van Riebeeck' dalam ekspedisinya tahun 1703,1704 dan 1709 selalu mencatat tentang 'de opgank van Pakowang' atau 'rijsenden smallen toegank van pakowang' dan 'vreeselijjke diepe gragt'. Sejak permulaan abad ke-18,nama Pajajaran,nama 'Pakuan'dengan jalan masuknya yang sempit mendaki dan diapit oleh parit yang dalam lingkungan pejabat inti'VOC'di Batavia. Van Riebeeck bahkan tergila-gila oleh bekas 'Kota Pakuan'sehingga ia mendirikan rumah peristirahatan di sana yang dinamainya 'somerhuijsje Batoe Toelis'.
Mudah difahami bila kemudian tumbuh semacam anggapan dalam kalangan Kompeni Belanda bahwa keturunan Siliwangi adalah golongan bangsawan setempat. Mereka pun melihat bahwa di Pulau Jawa terdapat lapisan atau tingkatan kebangsawanan seperti di Eropa. untuk penertiban gelar,G.J.Van Imhoff yang bangsawan dan intelek serta penganut aliran romanrisme ajaran Rosseu itu pada tanggal 2 Maret tahun 1745 mengadakan 'zegelordonantie'yang menetapkan tarif untuk permohonan gelar kebangsawanan yang terbagi atas 4 tingkat:
Pangeran 150 ringgit
Adipati dan Tumenggung 125 ringgit
Aria
100
ringgit
Ngabehi dan Demang 75 ringgit
Tanggal 25 mei 1750
pengelompokan dan tarif diubah menjadi:
Ngabehi,Demang dan Rangga 60 ringgit
Sebelum itu,lewat resolusi tanggal 15 November
1737 G.J. Adriaan Walckenier telah mengahadiahkan gelar pangeran untuk Bupati
Sumedang. Pemberian gelar-gelar tersebut ditinjau dari berbagai segi,di
antaranya dari 'derajat keningratannya'. Dalam kaitan ini,wajar sekali bila
para santana berupaya membuktikan dirinya sebagai keturunan 'langsung'dari
seorang tokoh yang terandalkan 'keningratannya'. Untuk kawasan Jawa Barat,tokoh
Siliwangi menjadi jaminan uatama yang diakui 'keabsahannya'oleh Pemerintah
Hindia Belanda yang mewarisi tradisi itu dari Kompeni Belanda.
Rupa-rupanya hal ini semata-mata urusan politik yang tidak disangkut-pautkan dengan persoalan disiplin ilmu Sejarah. Hal itu terlampau peka untuk diusik karena dapat menggoyahkan kesetiaan kaum santana dan priyayi pribumi yang menjadi andalan utama bagi kelangsungan kekuasaan Belanda di kawasan ini. Itulah mungkin keunikan tokoh 'Siliwangi' dalam jalinan hubungan antara para santana pribumi dengan Pemerintah Hindia Belanda di masa lalu. Wajar seandainya terjadi penyadapan atau peminjaman nama 'Prabu Siliwangi' sebagai leluhur untuk jaminan bahwa dirinya memiliki 'darah kusumah'. Hanya kelompok ini yang diberi peluang lebih besar untuk maju dan ikut memerintah oleh Pemerintah Hindia Belanda. BACA BERIKUTNYA >>
*** SEJARAH TATAR SUNDA BACA BERIKUTNYA >>
*** KUMPULAN PARIBASA SUNDA BACA BERIKUTNYA >>
sumber: Seminar Sejarah dan Tradisi Tentang Prabu
Bandung 20-24 Maret 1985
(oleh:Saleh Danasasmita)